INDRAGIRI.com, OPINI - Sengaja tulisan ini saya ketengahkan sebagai upaya mempertegas gerakan terutama yang berada di struktural organisasi Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Indragiri Hilir agar tidak berleha-leha dalam menjalankan organisasi. Sebab, tantangan di luar sana (eksternal) begitu kuat dan besar, jika kita lalai maka akan dapat menggilas identitas kemelayuan termasuk generasi.
Dalam acara pengukuhan kepengurusan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMRI) Kabupaten Indragiri Hilir pada 4 November lalu, ada keresahan mendalam yang disampaikan oleh Ketua Umum LAMR terpilih yaitu persoalan generasi. Hal yang senada juga disampaikan oleh Bupati Indragiri Hilir yang intinya “ sangat terasa bahwa semakin terkikisnya budaya dan adat melayu saat ini dengan adanya budaya luar yang tidak sesuai dengan adat dan budaya melayu yang dikenal sangat islami terutama pada generasi muda, mereka begitu rentan untuk dipengarughi yang terkadang juga mencampakkan budayanya sendiri”.
Menurut saya, Jika kita memahami Lembaga Adat Melayu secara konsep salah satu tujuannya adalah untuk membina, memelihara serta mengembangkan nilai-nilai luhur (AD Pasal 4 ayat 1). Kemudian secara fungsi sebagai wadah untuk menepis masuknya nilai-nilai negative dari budaya luar (AD Pasal 7 Huruf f), tentu persoalan degradasi moral generasi hari ini punya hubungan erat dengan lembaga adat yang punya tugas utama secara struktural dan moral untuk menjawabnya. Terlebih persoalan degradasi moral yang terjadi bukanlah hal yang baru akan tetapi telah berjalan sekian rentang waktu, seharusnya keberadaan Lembaga Adat menjadi penyangga utama dalam membentengi hal ini, tapi kini malah lebih pilih bungkam tanpa kata dan gerakan. Sehingga memperparah keadaan dan pengaruh yang masukpun tidak bisa dibendung lagi oleh upaya konkrit dari lembaga yang dipandang sakral dan strategis ini.
Seperti yang telah sama-sama kita ketahui bahwa era-globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sesuatu yang tak bisa dibendung, dan konsekuensi logisnya adalah terjadi benturan budaya luar terhadap sistem dan tata nilai-nilai budaya lokal yang saat ini sedang berlansung, terutama budaya Barat yang setiap waktunya disuguhkan di berbagai lininya, sebagian ilmuan menyebutnya dengan istilah westernisasiatau proses pembaratan yang tak tertutup kemungkinan bahwa agenda ini lama-kelamaan akan menghapus nilai-nilai budaya sendiri. Kalau kita menyadari bahwa westernisasi adalah suatu tantangan besar yang berat untuk dibendung dan kita juga khawatir akan tambah bergesernya nilai-nilai yang kita anut, lalu kenapa hari ini gerakan melayuisasi terlihat begitu lemah, bukankah dilahirkannya Lembaga Adat salah satu tugasnya adalah untuk menepis gangguan budaya negative itu.
Di lain hal, kita juga perlu berterusterang di sini bahwa hari ini “masyarakat melayu yang tersebar di penjuru kota dan desa”belum begitu mengenal dan merasakan keberadaan adat dan kebudayaan yang diwarisi oleh datok nenek moyang kita dahulu terutama tata cara hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jangankan untuk memahami, dan mengamalkan mengenali saja sudah menjadi persoalan utama, seiring dengan tidak dikenalnya Kelembagaan Adat Melayu itu sendiri. Masyarakat mengenal adat paling hanya pada tatanan serimonial-simbolik seperti di pesta perkawinan, di acara-acara sedangkan dalam hidup keseharian belum dirasakan keberadaannya. Ini menggambarkan bahwa betapa bekunya gerakan Lembaga Adat Melayu selama ini, jangankan ingin menjawab tantangan luar, mengurus internal organisasi saja belum usai, jangankan untuk menjawab tantangan eksternal dari gerakan westernisasi memasyarakatkan adat dan kebudayaan kita sendiri di tengah masyarakat saja masih belum terpenuhi.
Artinya saat ini kita sebagai komunitas melayu Riau telah jauh ketinggalan waktu, sementara ia terus berjalan seiring dengan berjalannya kemajuan. Jadi, selain waktu yang telah mengancam kita juga kekuatan budaya-budaya infor yang telah menggerogoti identitas diri. Bercermin dari Nagari Minangakabau yang dikenal kental dengan pengamalan adat dan istiadatnya, mereka telah sekian lama melakukan gerakan memasyarakatkan adat di tengah kehidupan bahkan masuk pada lini pemerintahan nagari, mereka tidak lagi bicara kapan memulai masuknya kurikulum di sekolah-sekolah akan tetapi sudah pada tahap memodelisasi kurikulum itu agar sesuai dengan semangat dan persoalan zaman agar generasi dan masyarakatnya siap bertempur dengan segala agenda budaya luar (werternisasi).
Kalaupun di awal tahun 2015 besok akan dimasukkannya kurikulum pelajaran kemelayuan di sekolah-sekolah, dari segi bias globalisasi kita tetap saja terlambat karena efeknya telah masuk secara total keranah jiwa-jiwa para generasi hari ini. Tapi, tentu lebih baik kita memulai dari pada terus meratapi dan tidak berbuat sama sekali. Masyarakat Minagkabau yang telah berbuat saja masih merasa rentan dengan pengaruh itu apalagi kita yang belum berbuat. Jadi dengan berbuat mudah-mudahan kita bisa memperbaiki keadaan serta mengejar ketertinggalan minimal untuk bertahan.
Oleh karena itu, di akhir tulisan singkat ini ada bebepara catatan penting yang menjadi rekomendasi dalam upaya menyegarkan kembali Kemelayuan kita.
Pertama, komitmen para pengurus Lembaga Adat Melayu yang kita pandang sakral ini, agar benar-benar mempertegas ger
akan, tidak jatuh dalam lobang yang sama seperti priode lalu, tapi lebih kepada hidup yang menghidupkan. Inventaris persoalan yang terkait dengan tugas dan wewenang yang telah diemban oleh organisasi, gagas konsep lalu gerakkan dengan menggunakan berbagai seni dan pendekatan.
akan, tidak jatuh dalam lobang yang sama seperti priode lalu, tapi lebih kepada hidup yang menghidupkan. Inventaris persoalan yang terkait dengan tugas dan wewenang yang telah diemban oleh organisasi, gagas konsep lalu gerakkan dengan menggunakan berbagai seni dan pendekatan.
Kedua, gerakan Melayuisasi, menurut Naquib al-Attas seorang pakar pendidikan salah satu cara untuk menangkal westernisasi itu adalah dengan cara menggiatkan islamisasi. Hal ini bisa kita lakukan dalam konteks mempertahankan kebudayaan lokal bahkan kalau adat dan kebudayaan Melayu itu diidentikkan dengan nilai-nilai Islam maka kepengurusan hari inipun harus bekerjasama dengan para ulama dan mubaligh tujuannya untuk mempercepat pengaruh. Ketiga, mencari formulasi yang tepat bagaimana adat-istiadat dan kebudayaan ini dapat diterapkan dalam hidup keseharian, baik itu dalam tatanan keluarga, sekolah, perguruan tinggi maupun di instansi pemerintahan.
Inilah beberapa beberapa tawaran teoritis yang dapat saya ketengahkan sebagai upaya mempertahankan keberadaan kita di muka bumi ini sekaligus sebagai bentuk ke cintaan saya kepada adat dan budaya melayu. Semoga dapat menjadi pesan moril dalam agenda menyegarkan kembali kemelayuan dibumi. Sikap ini terdorong dari pepatah yang sering menggema di telinga setiap kita bahwa tidak akan hilang Melayu di bumi. Kalaulah saat ini kita semua tidak melakukan upaya berupa perhatian walaupun sedikit, maka jelas pepatah tidak akan hilang melayu di bumi akan menjadi berbalik arah yaitu akan hilangnya Melayu di bumi, karena kenyataan yang ada memang tidak sesuai antara cita-cita dengan usaha yang kita lakukan. Semoga ini menjadi ke-insafan kita bersama.
Penulis : Ahmad Tamimi
0 Komentar