PERSEPSI tentang ‘sehat’ atau ‘kesehatan’ masih sering dipahami sebagai sehat secara fisik. Padahal kesehatan memiliki makna luas tidak hanya sehat sebatas fisik (bebas dari penyakit) tapi juga mencakup keadaan sejahtera secara mental atau terciptanya kesejahteraan sosial. Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely the absence of disease or infirmity (WHO Constitution, 1948).
Indikator sehat tidaknya seseorang selama ini umumnya diukur dari kondisi fisik/tubuhnya, padahal banyak penyakit fisik berawal dari kondisi mental/psikologis atau disebut gangguan psikosomatik. Pola penyebab kematian terbesar di Indonesia (termasuk di Aceh) tidak lagi disebabkan oleh penyakit menular, seperti TBC, diare, malaria atau demam berdarah; namun saat ini lebih didominasi oleh penyakit tidak menular, yakni stroke (Riskesdas, 2007). Tidak jarang ditemukan kasus seseorang mendadak mengalami serangan stroke, jantung, sesak pernafasan (asma) dan lain sebagainya, padahal secara fisik terlihat sehat.
Berbagai hasil studi telah menunjukkan bahwa penyakit fisik (baik menular dan tidak menular) tidak lagi hanya disebabkan oleh faktor biologis (genetik), namun perilaku atau gaya hidup (seperti pola makan dan pergaulan sosial) dan termasuk kondisi psikis/mental (seperti stress, depresi, isolasi sosial, dsb) juga diketahui berkontribusi signifikan terhadap kesehatan fisik seseorang.
Kesehatan Mental
Kesehatan mental masih dipandang sebelah mata dan terbiasa diidentikkan dengan sakit jiwa atau gila. Padahal kesehatan mental sendiri memiliki ruang lingkup dan implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan sosial masyarakat. Berbagai penyakit sosial dalam masyarakat, baik kriminal dan non-kriminal berasal dari sehat tidaknya kondisi mental/kejiwaan dan kepribadian seseorang. Saat ini, sering kita saksikan semakin berkurangnya kesadaran dan kepedulian bersama dalam masyarakat, yang antara lain karena tingginya egosentrisme dan degradasi nilai-nilai kolektif pada individu dalam interaksi sosial.
Ketidakpedulian untuk membuang sampah pada tempatnya bahkan merasa ‘normal’ melihat sampah berserakan merupakan contoh kecil bahwa ada yang salah dengan mental/psikologis masyarakat kita mayoritas Muslim, yang sedianya sejak kecil telah faham dan yakin akan kebenaran nilai Islam berikut ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’. Perilaku emosional dan anarkis sebagian besar masyarakat kita dalam menyingkapi suatu masalah juga merupakan refleksi contoh persoalan mental/psikis dan sosial yang belum secara maksimal menjadi perhatian semua pihak.
Pemerintah sendiri belum menunjukkan keseriusan menjadikan upaya penyadaran dan penanggulangan kesehatan mental sebagai prioritas. Saat ini, pemerintah tidak hanya harus menanggung biaya kesehatan cukup besar untuk penanggulangan kesehatan fisik (penyakit menular dan tidak menular). Namun kerugian pemerintah/negara secara ekonomi dan sosial yang disebabkan faktor kesehatan psikis seseorang/sekelompok orang yang misalnya kemudian mendorong mereka melakukan tindak pidana korupsi, hakekatnya adalah sama besar atau bahkan bisa lebih besar.
Media dan Kesehatan
Demam ‘Goyang Caisar’ saat ini sedang melanda hampir semua kalangan masyarakat, baik laki, perempuan, tua, muda, bahkan para balita. Goyangan energik dan dinamis yang mengiringi beberapa lagu dangdut ini awalnya menjadi popular lewat sebuah program acara `YKS-Yuk Kita Sahur’ di salah satu stasiun TV swasta yang ditayangkan menjelang sahur selama Ramadhan 1434 H lalu. Selepas Ramadhan, `Yuk Kita Sahur’ diganti menjadi `Yuk Keep Smile’ yang hingga kini ditayangkan rutin setiap malam di stasiun tersebut, prime time, live, tiga jam lebih non-stop.
Televisi diakui telah memiliki pengaruh cukup signfikan terhadap perilaku audiens. Deddy Mulyana menyebutkan bagaimana televisi telah berfungsi sebagai ‘agen-agen industri komunikasi transnasional’, yaitu media yang cenderung mempromosikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat industrialis-metropolis (misalnya Amerika), dimana nilai-nilai sosial-budaya yang ditawarkan tersebut terkadang tidak memiliki kaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat negara penerima (seperti Indonesia), seperti pendidikan dan kesehatan (Mulyana, 1997:32).
Reality show YKS yang bersifat hiburan ini, di satu sisi dapat dikatakan telah membentuk masyarakat yang sehat secara fisik. Dengan mengikuti gerakan energik ‘Goyang Caisar’, penonton terbiasa sambil tersenyum dan tertawa menggerakkan tubuhnya dengan lincah, yang secara sepintas seperti gerakan olahraga fisik, aerobik. Hal positif lainnya, acara ini juga dapat dipandang sebagai pengalih dan jalan keluar atas ketidaktertarikan atau kejumudan masyarakat akan isu dan masalah serius seperti politik, ekonomi, dan korupsi.
Namun di sisi lain, “Yuk Keep Smile’ tanpa disadari telah menciptakan masalah kesehatan lain, kesehatan psikis. Acara ini turut berkontribusi dalam mengedukasi dan menawarkan nilai-nilai pragmatis kepada audiens. Masyarakat diarahkan untuk menjadi terbiasa berharap dan menerima sesuatu (dalam bentuk materi) secara mudah dan praktis. Hanya dengan modal berjoget/bergoyang mereka memiliki kesempatan mendapatkan rezeki sekaligus menjadi dikenal karena masuk TV. Bila dilihat dari besarnya animo masyarakat akan program acara tersebut mengindikasikan cukup banyak masyarakat kita yang telah menjadi korban komoditas industri media massa.
Media terbukti memiliki pengaruh besar dalam mengangkat berbagai isu, termasuk isu kesehatan. Sayangnya peran media massa selama ini masih lebih banyak mendukung dan menjadi agen promosi dan sosialisasi kepentingan dunia industri komersil dan politik. Terlepas dari kenyataan bahwa media massa sendiri adalah sebuah industri bisnis, tapi fungsi media massa sebagai media informasi, edukasi, persuasi, dan kontrol sosial, sama pentingnya dengan fungsi hiburan yang cenderung menjadi prioritas dan orientasi pemilik media.
Masih minimnya informasi pro-kesehatan di media massa, seperti sosialisasi ASI Eksklusif atau antirokok menunjukkan dua hal penting, tidak kooperatifnya media dengan isu kesehatan, atau belum termanfaatkannya media massa secara maksimal untuk promosi yang mendukung kesehatan. Ilustrasi ketidakseimbangan kuantitas dan kualitas antara informasi prorokok (iklan rokok) yang sangat banyak dan kreaktif dibandingkan dengan minimnya informasi antirokok di berbagai media menyiratkan kebenaran premis tersebut.
Media Alternatif
Alasan besarnya biaya produksi informasi terkait isu kesehatan melalui mainstream media (TV, radio, dll) sebenarnya tidak dapat dijadikan penghalang. Kehadiran media alternatif, media sosial online seperti facebook, twitter, YouTube, dsb, sedianya dapat menjadi pilihan dalam menyosialisasikan informasi prokesehatan yang tidak kalah kreatif dan inovatif dengan media arus utama lainnya. Kelebihan media alternatif ini dari aspek kecepatan, biaya murah, dan jangkauan sangat luas, dapat menjadi sebuah solusi konstruktif bagi upaya pencerahan masyarakat secara maksimal untuk mendapatkan informasi-informasi yang mendukung kesehatan (yang menyehatkan), termasuk sosialiasi pencegahan penyakit baik fisik dan psikis.
Dengan memanfaatkan media alternatif ini, setiap orang memiliki kesempatan menjadi agen perubahan bagi kesehatan masyarakat karena setiap individu dapat melakukannya, salah satunya melalui smartphone yang mereka miliki (yang menyediakan berbagai aplikasi jejaring sosial tersebut). Mewujudkan kualitas kesehatan manusia bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tapi juga setiap in
dividu dan masyarakat. Berharap terlalu besar pada hegemoni mainstream media yang sudah terkooptasi kepentingan bisnis dan politik dalam diseminasi informasi kesehatan adalah absurd.
Sudah saatnya masyarakat kita tidak lagi sekadar menjadi konsumen informasi dari apa yang ditawarkan media, tapi seharusnya dapat menjadi produsen informasi yang positif (melek media), termasuk dalam isu kesehatan (melek sehat). Perlu adanya sebuah gerakan berbasis masyarakat yang saling berbagi dan mengingatkan tentang pentingnya makna kesehatan, salah satunya dengan memanfaatkan media alternatif ini. Berbagai penyakit (baik menular dan tidak menular) sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah (preventable disease), terutama melalui perubahan perilaku fisik/psikis individu dan masyarakat. Menjadi sehat dan mencegah sakit adalah jauh lebih mudah dan murah dibandingkan mengobati sakit yang sudah cenderung parah. Oleh karena itu, yuk keep smile! Yuk Kita Sehat!
Rizanna Rosemary, M.Si, MHC : Staf Pengajar Komunikasi Kesehatan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh.
Email: rizanna.rosemary@unsyiah.ac.id
0 Komentar