[caption id="" align="alignleft" width="200"]

Manusia adalah makhluk yang berpikir dan merasa. Ada orang yang kuat berpikirnya tapi lemah merasa, sebaliknya ada orang yang sungguh sangat perasa, tapi ia kurang pandai berpikir. Kualitas manusia bisa dilihat dengan berbagai standar, misalnya dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Orang beragama ada yang lebih menekankan aspek kognitifnya, ada yang afektifnya dan ada yang psikomotoriknya.
Sebagian orang memandang bahwa bertashawuf itu artinya hanya mementingkan aspek afektifnya saja, dzikir misalnya, tapi sebenarnya afeksi itu harus berdiri di atas fondasi kognitif (fiqh/syari'at) dan juga tetap tidak meninggalkan aspek psikomotoriknya (jihad misalnya). Hanya saja memang ada orang yang lebih tertarik menghiasi diri dengan akhlak yang baik (tahallî), yang lain ada yang sibuk membersihkan diri dari kotoran akhlak yang rendah (madzmûmah), dua hal yang sebenarnya tidak bertentangan.
Setiap nafs (jiwa) yang telah mencapai tingkat muthma'innah (tenang) pastilah ia menyandang predikat zakiyyah. Akan tetapi jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs al-ammârah (jiwa yang selalu memerintah untuk berbuat jahat) dengan segala karakteristik buruknya. Imam al-Ghazali membuat istilah baru nafs al-musawwilah (jiwa yang sudah stabil tapi dalam hal-hal tertentu rapuh) yakni nafs dalam posisi antara lawwâmah dan muthma'innah.
Tidak banyak penelitian terhadap sistem pendidikan tashawuf yang dilakukan. Namun demikian ada banyak indikasi yang menunjukkan bahwa tashawuf sebenarnya memiliki sistem pendidikan (tarbiyyah) yang khas dan unik. Setidaknya indikasi itu bermuara pada tiga hal, yaitu relasi murid dengan murad (mursyid), lahirnya thariqat sebagai organisasi tashawuf dan zawiyah yang dimiliki oleh syekh-syekh shufi.
Makna generik dari tarekat adalah thariqah yang berarti jalan. Arti ini semakna dengan kata sunna/f yang juga bermakna jalan. Dengan arti seperti ini kata tarekat bisa diterapkan kepada berbagai kelompok orang yang mengikuti madzhab pemikiran yang dikembangkan oleh seorang alim atau syeikh. Sementara dalam konteks ibadah, tarekat dapat diartikan sebagai cara dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi saw dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi'in secara turun-temurun sampai kepada guru-guru dengan sambung-menyambung dan berantai. Dari dua penjelasan ini, tarekat dapat disimpulkan memiliki makna yang sama dengan madzhab.
Dalam khazanah tashawuf dan tarekat, ini merupakan satu dari lima serangkai yaitu syariat, tarekat, hakekat, ma'rifat dan wahdat. Syariat merupakan cara melaksanakan ibadah dan amal secara dzahir. Tarekat adalah jalan yang ditempuh untuk melaksanakan ajaran tashawuf melalui maqamat dan ahwal. Hakekat merujuk kepada aspek esoterik atau bathin dari setiap ibadah yang merupakan rahasianya. Ma'rifat adalah tujuan akhir dari ibadah. Dalam perkembangan berikutnya, tarekat yang semula hanya bermakna metode (manhaj), jalan (syari’ât), kemudian berkembang menjadi organisasi yang mewadahi sekelompok penganut tashawuf yang sefaham dan sealiran sebagai sebuah keluarga dan kumpulan. Kecenderungan seperti ini muncul dalam abad kelima Hijriyah (13 Masehi).
Tarekat sebagai organisasi tashawuf memiliki sistem edukasi (tarbiyyah) yang independen dan unik. Tarekat dipimpin oleh seorang guru yang disebut mursyid (orang yang memberi bimbingan). Mursyid memiliki asisten yang disebut khalîfah dan pengikut ajarannya yang disebut murid. Tempat belajar dan training (riyâdhah) tashawuf dikenal dengan nama zawiyah (sudut ruangan) atau ribâth (khanqah dalam thariqat syi’ah). Tarekat juga memiliki kitab-kitab referensi yang khas sesuai dengan alirannya, baik mengenai fiqih, akhlak, falsafat, estetika, sosiologi, antropologi maupun tashawuf. Dalam tarekat juga ditemukan wirid dan do'a yang khusus. Proses rekruitmen muridnya dinamakan bai'at. Murid yang sudah resmi diterima terikat oleh seperangkat aturan kedisiplinan yang menyangkut cara bergaul, cara berpakaian, cara ibadah dan cara dzikir. Kemudian murid yang dianggap telah ahli dan mampu mengembangkan tarekat diberi lisensi yang disebut ijâzah.
Bagaimana sistem tarbiyyah (edukasi) dalam tarekat dikelola, sedikit banyak tergambar dari penuturan Khaled Bentounes, seorang pemimpin tertinggi tarekat Alawiyah di Perancis. Zawiyyah adalah tempat sekelompok murid tinggal, bekerja dan beribadah di bawah bimbingan seorang syekh. Tempat ini memiliki sistem baku yang mencakup sistem pendidikan tradisional dan pembaitan (inisiasi atau talqin). Zawiyyah dipimpin oleh seorang pemimpin spiritual yang merupakan grand master suatu tarekat. Pendidikan di Zawiyyah dimulai sejak dini yang diawali dengan membaca dan menghapal al-Qur'an di bawah bimbingan guru al-Qur'an yang fashih. Pada tahap berikutnya murid mulai belajar tafsir dan ta`wil atau komentar terhadap al-Qur'an. Di tempat ini diajarkan juga ilmu syariat, ibadah ritual, etika, filsafat, dan tata bahasa dengan guru tersendiri. Di sebagian zawiyyah bahkan diajarkan pula puisi dan nyanyian (sama') sebagai wahana jiwa. Untuk setiap materi dan kecakapan yang ditargetkan memiliki guru tersendiri. Setelah mencapai usia baligh dan dianggap matang murid boleh mengajukan diri untuk mengikuti baiat sebagai tanda masuknya seseorang ke dalam tarekat. Baiat ini langgung di tangani oleh Syekh.
Keberhasilan tarekat terekam dalam pengaruh besar tarekat dalam dunia Islam. Pasca keruntuhan Abbasiyah tugas menyebarluaskan Islam berpindah ke tangan kaum shufi sebagai dai dan pedagang. Pada masa dinasti Utsmaniyah tarekat memiliki peranan besar dalam bidang politik dan militer. Bahkan dalam catatan Kabbani, banyak pola pendidikan tashawuf berkembang menjadi lembaga pendidikan yang cukup terkenal. Sebagai contoh, Ribath Abdulah Ibn Mubarak di Merv, Khanqah Baibasiyyah di Kairo dan sebuah sekolah shufi yang dipimpin oleh seorang muhadits besar, Ibn Hajar al-Asqalani.
Dalam kehidupan sosial, alumni tarekat ini banyak yang diberdayakan untuk meringankan beban orang lain dan berusaha keras untuk menerangi jalan menuju kebenaran. Ulama dan guru tarekat juga banyak yang terlibat dalam perjuangan fisik melawan kaum kafir, sekaligus perjuangan rohani melawan nafsu tak kasat mata yang menjerat jiwa.
Deskripsi tarekat di atas dengan jelas menunjukkan bagaimana sistem pendidikan dibangun. Analisis terhadap fenomena tarekat tersebut menguatkan hipotesis bahwa pendidikan karakter dalam tashawuf memang ada. Lebih dari itu juga, tashawuf dan suluk berhasil dalam membentuk dan membangun karakter positif dalam diri para muridnya.
1. Sumber Karakter dan Metode Pendidikan
Ketika Barat yang sekuler dan Timur yang religius mengakui adanya nilai-nilai universal yang bercorak spiritual dalam setiap kesuksesan yang diraih manusia, psikolog, filosof dan saintis Barat bertanya-tanya dari mana sebenarnya nilai-nilai universal itu berasal, bermuara dan bersumber. Kegelisahan dan pertanyaan mendasar inilah yang tidak mampu dijawab oleh kecanggihan psikologi Barat dan spiritualitas non-Islam. Demikian pula halnya dalam perumusan karakter positif yang harus dimiliki anak.
Tashawuf sebagai sebuah filsafat akhlak sejak awal pertumbuhannya telah mampu menjawab pertanyaan tersebut. Jalan terang menuju sumber karakter ini ditunjukkan oleh sebuah hadits populer yang berbunyi, Takhallaqu Biakhla Allah, artinya, Berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Allah memiliki tujuh karakter, barang siapa yang mempraktekan satu karakter saja, ia akan masuk syurga. Bertitik tolak dari hadits inilah dalam tradisi shufi selalu dibicarakan upaya meneladani dan mengadopsi sifat-sifat Allah sebagai sumber dan metode pembentukan karakter.
Penjelasan terbaik dan terlengkap tentang pemaknaan al-Asma al-Husna sebagai sumber karakter barangkali terdapat dalam karya al-Ghazali, al-Maqshad al-Atsna Syarh Asma Allah al-Husna (Tujuan Puncak dari Nama-Nama Allah). Al-Ghazali menyebutkan empat prinsip dalam memahami dan memaknai al-Asma al-Husna. Prinsip terakhir menjelaskan bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan seorang hamba terletak pada peniruan dan pengadopsian karakter-karakter Allah dan menghasi diri dengan makna-makna yang terkandung dalam nama-nama Allah itu sesuai dengan dimensi kemanusiaannya.
Dalam sulûk (jalan yang ditempuh) seorang murid shufi dan murid mursyid thariqat, yang disebut sâlik (penempuh jalan), nama-nama Allah bukan sekedar untuk didengar ungkapannya, namun harus dimengerti makna bahasanya dan diyakini secara doktriner eksistensi-Nya. Banyak orang bisa melakukan tiga tahapan ini tanpa harus menempuh pendidikan tashawuf. Ada tiga langkah yang harus ditempuh seorang murid untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidup. Pertama, memahami makna-makna setiap nama dengan cara mukâsyafah dan musyâhadah sehingga tampak jelas baginya hakikat-hakikatnya melalui dalil yang shahih dan tersingkap kebersifatan Allah dengan sifat-sifat itu dengan penuh keyakinan yang benar-benar terasa yang berbeda dengan keyakinan doktriner. Kedua, menghormati dan memuliakan sifat-sifat keagungan yang telah tersingkap yang mendorong kerinduan untuk memiliki karakter seperti sifat-sifat Allah. Dalam tahapan ini al-Ghazali menganalogikan kerinduan berkarakter ini dengan hubungan guru-murid. Seorang murid bila telah menyaksikan kehebatan ilmu gurunya maka dalam dirinya akan tumbuh kerinduan yang dalam (deep longing or yearning) untuk menyerupai dan mengikuti sang guru. Ketiga, berusaha mengadopsi sifat-sifat itu dan menghiasi diri dengannya sehingga ia menjadi seorang rabbani yaitu orang yang dekat dengan Allah.
Namun demikian, sangat perlu digarisbawahi bahwa peniruan atau pengadopsian sifat-sifat Allah ini bukan berarti menyamakan Allah dengan manusia atau manusia mampu menyamai Allah. Prinsip bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu pun dan tak sesuatu pun yang menyerupai Allah (’adam al-mumâtsalat lilhawâdits) menjadi prinsip utama. Dalam hal ini al-Ghazali memilah antara (mumâtsalat dan musyârakat). Yang tidak mungkin terjadi adalah kesamaan secara persis yang menjangkau sisi esensial atau dzat (mumâtsalat). Ada pun musyârakat secara faktual itu telah terjadi karena hanya berkenaan dengan aspek lahir. Sebagai misal, ketika kita mengatakan Allah berkuasa (qâdir), Allah mendengar (sam’), Allah melihat (bashîr), Allah berbicara (mutakallim), bukankah kita pun mengatakan demikian kepada manusia. Si A berkuasa, si B mendengar, si C melihat, si D berbicara, dan seterusnya. Hal ini hanya menunjukkan keserupaan dalam segi penyebutan. Ada pun hakikat bekuasa, mendengar, melihat, berbicara Allah dengan manusia adalah wilayah yang tidak bisa dan tidak mungkin disamakan. Al-Ghazali dengan tegas menolak proses takhalluq atau pengadopsian karakter yang dilakukan melalui cara intiqâl, ittihâd dan hulûl. Intiqâl adalah mentransfer sifat-sifat Allah ke dalam diri manusia. Ittihâd adalah dzat manusia menyatu dengan Dzat Allah, atau manusia menjadi Allah. Hulûl adalah Dzat Allah melebur dalam diri manusia. Yang dimaksud dengan takhalluq dalam pembahasan al-Ghazali adalah menetapkan aspek-aspek dari sifat-sifat Allah sebagai sifat manusia sesuai dengan dimensi kemanusiaannya, yang memiliki kesamaan dalam penyebutan tetapi tidak menjangkau kesamaan mutlak pada hakikat sifa-sifat Allah maupun Dzat Allah itu sendiri.
Dalam mengimplementasikan konsepnya ini, al-Ghazali membaginya ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah sifat-sifat yang tidak memiliki aspek takhalluq atau adoption. Al-Ghazali tampak sekali sangat berhati-hati dalam kelompok pertama ini karena khwatit terjerumus ke dalam modus mumâtsalat, intiqâl, ittihâd dan hulûl. Kelompok kedua adalah sifat-sifat yang memiliki aspek takhalluq tetapi lebih dominan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam kelompok ini pemaparan al-Ghazali sangat bersifat global. Kelomkpok ketiga adalah sifat-sifat yang memiliki aspek takhalluq dalam kontek hubungan manusia dengan sesamanya atau dengan lingkungan. Proses takhalluq untuk kelompok ini dijelaskan secara gamblang dan luas. Sebagai contoh, ketika al-Ghazali membahas sifat al-Razzâq menyebutkan bahwa manusia yang telah memahami sifat ini harus memiliki karakter peduli (caring) kepada semua makhluk Allah, ia harus mampu menjadikan ilmu, petunjuk, lidah, tangan, dan semua yang Allah berikan sebagai jembatan bagi orang lain untuk meraih rejekinya. la harus menjadi perantara [wasithah) yang membantu orang lain memenuhi kebutuhannya. Demikianlah al-Ghazali menunjukkan bahwa nama-nama Allah adalah sumber terbentuknya karakter positif dalam diri manusia.
Pemaparan al-Ghazali terhadap pemaknaan dan pengadopsian karakter ini didasarkan pada pemikirannya bahwa ma'rifat yang mempakan tujuan puncak tashawuf bukanlah ma'rifat terhadap Dzat Allah. Dzat Allah hanya bisa dijangkau oleh Allah sendiri. Dalam pada itu, puncak ma'rifat para shufi adalah kelemahan mereka untuk ma'rifat, menjangkau Dzat Allah. Ada pun ma'rifat yang bisa dijangkau adalah ma'rifat terhadap sifat-sifat Allah dengan tiga langkah yang telah dijelaskan.
Sebagai sebuah metode pembentukan karakter (character building), takhalluq ini sebenarnya berkaitan dengan dua proses lainnya, yaitu ta'aliuq dan tahaqquq. Hal pertama yang hams dilakukan seorang hamba adalah menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan ta'alluq at§t( relationship] Tahapan ini dilakukan dengan memperbanyak dzikir untuk mengtkatkan kesadaran dan pikiran kepada Allah sehingga di mana pun berada ia tidak terlepas dari berrdzikir dan berfiklr untuk Allah. Dari tahapan inilah muncul kedekatan dan perkenalan yang akrab dengan Allah. Pada fase ini seorang hamba mulai memahami Allah melalui pengenalan sifat-sifat-Nya. P^engenalan dimaksud bukan sekedar menyebut dan mendengar nama-Nyarmei kebahasaan dari nama itu, dan meyakininya sebagai benar-benar sifat yang melekat' kepada Allah. Lebih dari itu fase ini menghendaki seorang murid menjalani mukasyafah dan musyahadah dalam memahami sifat Allah itu. Ini lah yang dimaksud dengan tahaqquq (realization) Keberhasilan melampau tahapan ini akan membawa seorang murid kepada fase takhalluq cka(ifadoption)yarQ bisa dikatakan sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Di sini seorang murid secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Ini lah awal terbentuknya karakter-karakter positif dalam diri murid.
Dalam riset kontemporer terhadap karakter-karakter unggulan yang membuat individu maupun korgorasi |meraih sukses, disimpulkan bahwa karakter-karakter itu memiliki pertautan^erigan sifat-sifat Allah atau merujuk pada pembahasan terdahulu, mempakan hasil adopsi terhadap sifat-sifat Allah. Dalam upaya membentuk karakter positif manusia akan terus mencari sifat-sifat Allah meskipun mereka menamakannya dengan istilah lain, seperti Good Corporate Governence (GCG), CEO Characters, Good Characters, atau apapun namanya.
2. Maqamat sebagai Zero Mind Process
Maqamat adalah sebuah ajaran tasawuf yang tak lengkap membicarakan tasawuf tanpa membicarakannya. Selama ini maqamat selalu dipahami secara tradisional, yaitu pandangan bahwa maqamat tersebut sekedar tahapan-tahapan sufistik. Padahal sebagai bagian dari ajaran tasawuf yang universal, semestinya maqamat dapat dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang selama itu berkaitan dengan upaya perbaikan martabat manusia.
Interpretasi progresif terhadap maqamat di antaranya telah dilakukan oleh Amir al-Najjar. Bagi al-Najjar, maqamat bukan sekedar tangga-tangga sufistik tetapi merupakan jalan yang sangat tepat untuk terapi berbagai penyakit jiwa dan hati, membersihkan segala kerendahan dan menghiasinya dengan kebaikan. Jadi An-Najar menafsirkan maqamat sebagai sebuah metode psikoterapi sufistik modern. Sementara Ali Murtadho mencoba memaknai tahapan maqamat itu sebagai metode konseling transpersonal. Ada pula penelitian yang mencoba memahami maqamat dengan pendekatan sains modern. Upaya-upaya kreatif ini menunjukkan bahwa maqamat bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan tanpa hams terikat dengan tasawuf secara tradisional.
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter yang ditempuh melalui ta'alluq (relationship), tahaqquq (realization), dan takhalluq (adoption), maqamat dapat diposisikan sebagai pencetus sekaligus penjaga karakter yang telah terbentuk melalui tiga tahapan tersebut. Pengadopsian sifat-sifat Allah tidak akan bisa dilakukan tanpa kebeningan hati dan emosi yang terkontrol. Hal ini memerlukan sebuah upaya menjaga kondisi hati dan pikiran agar tetap fokus kepada Allah. Inila yang dimaksud dengan Zero Mind Process. Maqamat dengan segala perbedaan rumusan dari para ahli shufi, sejatinya adalah langkah-langkah sistematis dalam Zero Mind Process.
Pembersihan hati dan stabilisasi emosi dengan Zero Mind Process ini dikarenakan hati selalu rawan terkontaminasi oleh berbagai noda. Noda-noda ini lah yang akan menjadi penghalang proses adopsi sifat-sifat mulfi Allah. Dengan meminjam sistematika maqamat yang dirumuskan oleh-Abu Nasr al-Sarraj yang meliputi taubat, wara', zuhud, faqr, sabar, tawakkal dan ridha, proses dapat dipahami sebagai upaya membersihkan diri (takhliyyah). Taubat membersihkan diri dari perilaku nista yang merugikan diri dan orang lain. Taubat sekaligus menjadi komitmen pelurusan misi hidup seseorang untuk hanya mengorientasikan hidup kepada Allah. Wara' membersihkan diri dari sikap hidup yang ceroboh dan gegabah yang tidak peduli dengan aturan Allah. Zuhud membersihkan diri dari sikap tamak, rakus dan menggantungkan diri kepada orang lain. Faqr membersihkan diri dari sikap materialitis dan hedonis. Sabar membersihkan diri dari amarah dalam menghadapi kesulitan. Tawakal membersihkan diri dari sikap pesimis. Dan ridla membersihkan diri sikap putus asa. Demikianlah maqamat sebagai proses penjernihan emosi yang akan mengawal langkah relationship, realization dan adoption dalam proses pembentukan karakter.
Kajian terhadap pendidikan karakter dalam tashawuf mengindikasikan bahwa spiritualitas merupakan keniscayaan dalam pendidikan karakter. Islam shufistik sebagai ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas memiliki jejak pendidikan karakter yang jelas dan sistematis. Hal itu direalisasikan oleh tashawuf. Pengabaian terhadap pendidikan karakter dalam dunia edukasi sekarang ini dikarenakan pengabaian tashawuf sebagai khazanah ajaran Islam shufistik yang kurang dihayati dan kurang diapresiasi. Hal itu terjadi karena pandangan yang menganggap tashawuf sebagai ajaran yang elitis, sakral, ambiguitas dan sinkritis, yang tidak mungkin dibawa ke dunia sekolah dan pendidikan formal. Upaya pendidikan karakter tiada lain adalah mengadopsi dan mereduplikasi pola tashawuf pendidikan dalam sistem pendidikan formal di sekolah sesuai dengan tuntutan zaman. Model pendidikan karakter dari hasil kajian ini adalah melaui metode ta'alluq (relationship), tahaqquq (realization) dan takhalluq (adoption) yang dibingkai dalam tangga maqamat sebagai proses penyucian diri dan stabilisasi emosi (Zero Mind Process) menuju al-insan al-kamil (the perfect man).
0 Komentar